Aktivis hak perempuan mengatakan seharusnya pemerintah secara tegas dan jelas melarang sunat perempuan dan memberikan sanksi tegas pada pelanggar.
Wakil Menteri Kesehatan Ali Qufron Mukti menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan pada 2013 telah mencabut Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 yg mengatur tentang praktik sunat perempuan.
Qufron mengatakan pencabutan itu dikarenakan banyaknya pihak yg berfikir bahwa sunat perempuan yg dilakukan di Indonesia sama dengan di Afrika. Di Afrika, tambah Qufron, sunat perempuan dilakukan dengan cara mutilasi sedangkan di Indonesia sangat berbeda.
Di Indonesia, lanjutnya, sunat perempuan dilakukan dengan cara mengores kulit yg menutupi bagian depan klitors dengan menggunakan jarum steril tanpa melukainya.
Pasca pencabutan peraturan itu, kata Qufron, kementeriannya melakukan edukasi dan sosialisasi kepada tenaga medis bahwa sunat perempuan tidak ada manfaatnya. Apabila ada tenaga medis yg tetap melakukan sunat perempuan, tambahnya, tidak ada sanksi yg akan diberikan karena tidak ada aturannya.
“Di Indonesia itu sering disalahkan artikan dan disalah persepsikan, dianggap itu sebuah mutilasi padahal yg terjadi tidak seperti itu. Jadi oleh karena itu kita putuskan utk dicabut pada 2013. Bulannya? Saya tidak ingat bulannya, ” ujarnya Selasa (28/1).
Pencabutan peraturan tersebut tidak banyak diketahui khalayak termasuk organisasi perempuan Kalyanamitra. Peneliti Kalyanamitra Djoko Sulistyo mengatakan, pencabutan peraturan menteri kesehatan tentang praktik sunat perempuan itu seharusnya disosialisasikan ke semua pihak.
Meski demikian dia mengapresiasi pencabutan tersebut karena menurutnya, kebijakan 2010 itu membuka peluang dan memberi otoritas bagi tenaga medis utk melakukan layanan sunat perempuan.
Meskipun peraturan itu telah mengatur prosedur sunat perempuan oleh tenaga medis di rumah sakit yaitu dengan cara mengores kulit yg menutupi bagian depan klitors tanpa melukai klitoris dengan menggunakan jarum steril, tetapi tidak ada yang dapat menjamin praktek tersebut tidak berisiko buat perempuan.
Sunat perempuan, kata Djoko, tidak memberikan manfaat apapun karena tujuan dari sunat perempuan hanya utk mengekang seksualitas perempuan. Menurutnya, praktik medikalisasi sunat perempuan ini dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
“Tujuan dilakukannya sunat perempuan itu kan salah satunya utk mengekang seksualitas perempuan. Secara medis sebenarnya tidak ada keuntungan secara medis ketika dilakukan sunat perempuan beda ketika itu dilakukan kepada laki-laki. Sunat perempuan tidak ada dalam kurikulum bidan atau dokter. Mereka selama ini melakukannya tidak melalui pendidikan, ” ujarnya.
Djoko menambahkan, seharusnya pemerintah secara tegas dan jelas melarang adanya sunat perempuan di Indonesia. Harus ada sanksi yg tegas, lanjutnya, bagi mereka yg melakukan praktik tersebut .
Pemerintah, kata Djoko, harus melakukan upaya peningkatan kesadaran, pendidikan dan kampanye secara luas kepada bebrapa kelompok agama dan budaya, pemimpin politik, dan masyarakat pada umumnya utk mengubah persepsi budaya dan keyakinan tentang sunat perempuan.
“Harapannya, masyarakat Indonesia sadar betul bahwa praktik itu adalah praktik yg merugikan perempuan. Biarkan perempuan menikmati tubunya, biarkan perempuan mempunyai hak atas tubuhnya, ” ujarnya.
Sebelum peraturan menteri kesehatan tahun 2010 yg membolehkan sunat perempuan dikeluarkan, pemerintah pada 2006 sebenarnya telah membuat kebijakan untuk melarang praktik sunat perempuan. Namun sayangnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menentang kebijakan tahun 2006 dan mendesak pihak Kementrian Kesehatan utk tidak melarang praktik sunat perempuan.
0 comments:
Posting Komentar